“`html
Ragamutama.com – Gelombang kekhawatiran tengah menyelimuti perekonomian Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pun tertekan.
Pada hari Selasa, 8 April 2025, IHSG mencatatkan penurunan signifikan sebesar 7,9 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan saat bursa saham dibuka kembali setelah libur panjang sejak 27 Maret 2025.
Sementara itu, mata uang rupiah terus melemah terhadap dollar AS, bahkan sempat menyentuh angka Rp 17.217,00 pada hari Senin, 7 April 2025.
“Rupiah mengalami performa terburuk di antara mata uang Asia, dengan penurunan sebesar 2,8 persen terhadap dollar. Titik terendah pada hari Selasa mencapai Rp 16.865 terhadap dollar AS,” demikian laporan dari Bloomberg.
Lloyd Chan, seorang ahli strategi valas dari MUFG, memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah berpotensi merosot hingga kisaran Rp 17.100 dalam beberapa bulan mendatang. Jika sentimen pasar terus tertekan oleh kebijakan tarif, angka ini akan menjadi rekor terendah baru.
Kondisi nilai tukar rupiah yang terus melemah ini turut menjadi perhatian berbagai media internasional, termasuk Al Jazeera yang berbasis di Timur Tengah, pada hari Selasa, 8 April 2025.
Lantas, bagaimana pandangan media terkemuka tersebut mengenai situasi ini?
Anjloknya nilai tukar rupiah jadi alarm bagi perekonomian Indonesia
Dalam sebuah artikel berjudul “Mengapa merosotnya nilai tukar rupiah menjadi alarm bagi perekonomian Indonesia yang bernilai 1,4 triliun dollar AS,” Al Jazeera menyoroti posisi rupiah yang berada di titik terendah sepanjang sejarah.
Media tersebut melaporkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diperdagangkan pada level terendah, mengingatkan akan memori kelam krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998.
Meskipun pelemahan rupiah diperburuk oleh ketidakpastian pasar yang dipicu oleh kebijakan tarif besar-besaran yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump, tren penurunan nilai tukar mata uang Indonesia sebenarnya sudah dimulai beberapa minggu sebelum pengumuman “Liberation Day” pada hari Rabu, 2 April 2025.
Sejak pelantikan Presiden RI yang baru pada bulan Oktober 2024, nilai tukar rupiah telah mengalami penurunan sekitar 8 persen terhadap dollar AS.
“Penurunan ini terjadi di tengah kekhawatiran mengenai kepemimpinan mantan jenderal tersebut di negara dengan ekonomi terbesar dan populasi terpadat di Asia Tenggara,” tulis Al Jazeera dalam laporannya.
Media Timur Tengah tersebut menekankan bahwa pelemahan rupiah saat ini membangkitkan ingatan pahit tentang kejatuhan dramatis nilai tukar mata uang Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itu, krisis moneter tidak hanya mengguncang perekonomian, tetapi juga menjadi salah satu faktor yang memicu runtuhnya rezim otoriter Presiden Soeharto setelah berkuasa selama lebih dari 30 tahun.
“Situasi yang terjadi di Indonesia saat ini mencerminkan tingkat kepercayaan para investor dan pasar global terhadap arah kebijakan ekonomi yang diambil oleh para pemimpin negara tersebut,” ungkap Achmad Sukarsono, seorang analis dari firma konsultan Control Risks yang berbasis di Singapura, kepada Al Jazeera.
Kapan rupiah mulai anjlok dan apa penyebabnya?
Dalam artikel yang sama, Al Jazeera menyatakan bahwa rupiah terus mengalami kemerosotan sejak periode menjelang pelantikan presiden yang baru.
Titik terendah sepanjang masa rupiah tercatat pada angka 16.850 pada hari Selasa, 8 April 2025.
Selama hampir tiga dekade terakhir, rupiah telah melalui berbagai dinamika naik turun, termasuk saat krisis ekonomi Asia 1998 hingga pandemi Covid-19. Namun, ketika nilai tukarnya kembali menyentuh atau bahkan melampaui batas psikologis yang pernah tercatat pada masa kejatuhan Soeharto, kekhawatiran di kalangan masyarakat pun meningkat.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, angka tersebut bukan sekadar nilai tukar mata uang, melainkan simbol dari memori krisis besar yang mengguncang fondasi politik dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, meskipun konteks saat ini berbeda, penurunan nilai rupiah tetap membawa beban emosional dan kekhawatiran tersendiri.
“Masih terpatri dalam ingatan kolektif bahwa jika rupiah Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, masyarakat akan mulai merasa resah, dan mereka menganggapnya sebagai pengulangan krisis sebelumnya,” ujar Hal Hill, profesor emeritus ekonomi Asia Tenggara di Australian National University (ANU).
Al Jazeera menjelaskan bahwa depresiasi mata uang dapat disebabkan oleh sejumlah faktor.
Beberapa penyebabnya meliputi ketidakpastian politik, tingkat inflasi yang tinggi, ketidakseimbangan neraca perdagangan dengan negara lain, dan spekulasi yang dilakukan oleh para investor.
“Dalam kasus Indonesia, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden, termasuk program makan siang gratis senilai 30 miliar dollar AS, rencana untuk mengurangi independensi bank sentral, dan pembatasan terhadap perusahaan asing seperti Apple, telah menggoyahkan kepercayaan para investor terhadap perekonomian,” tulis Al Jazeera.
Seorang ekonom dan peneliti di ANU Indonesia Project menambahkan bahwa situasi ini disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian dan penurunan signifikan dalam kepercayaan pasar.
Selain itu, Al Jazeera juga menyoroti beberapa kebijakan Presiden baru Indonesia yang, menurut para kritikus, mengingatkan kembali pada gaya pemerintahan Soeharto, sehingga memicu kekhawatiran di berbagai kalangan.
“Pembentukan dana kekayaan negara (Danantara) oleh Presiden baru dengan menggunakan dana pemerintah sebesar 20 miliar dollar AS dan dorongannya untuk mengizinkan anggota militer menduduki lebih banyak jabatan sipil juga telah memicu kekhawatiran,” demikian laporan dari media tersebut.
“`