Zenkov Catedral: Kisah Megah Gereja Kayu Ikonik Dunia

- Penulis

Rabu, 9 April 2025 - 11:03 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Senja beranjak turun ketika saya menikmati waktu luang di Taman Panfilov, salah satu oasis hijau yang paling ikonik di jantung kota Almaty. Sentuhan sejuk angin dan semburat awan tipis di langit menciptakan atmosfer yang begitu damai. Keluarga-keluarga kecil tampak berjalan santai, beberapa asyik membaca buku di bangku taman, dan yang lainnya hanya menikmati hembusan angin lembut sambil menyesap secangkir kopi panas.

Di pinggir taman, langkah saya terhenti di depan monumen perang yang berdiri gagah dan sarat makna: Monumen Pahlawan Panfilov, sebuah penghormatan kepada 28 prajurit Soviet yang dengan berani melawan tentara Nazi di dekat Moskow pada tahun 1941. Patung-patung perunggu berukuran besar itu memancarkan ekspresi tekad yang kuat, dan tanpa disadari membuat saya ikut terdiam sejenak. Ada aura keseriusan yang terasa di sana, sebuah pengingat akan sejarah kelam yang tersembunyi di balik kedamaian taman ini.

Saya melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak yang teduh di bawah barisan pohon-pohon tua. Semakin jauh ke dalam taman, suasana semakin tenang, meskipun tetap terasa lapang. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, saya melihat bangunan berwarna pastel cerah itu berdiri dengan anggun: Ascension Cathedral.

Awalnya, saya sempat bertanya-tanya apakah itu benar-benar sebuah gereja. Bentuknya yang menyerupai istana kecil, dengan menara-menara yang dihiasi kubah emas dan warna-warna lembut, membuatnya tampak lebih seperti bangunan dari dunia dongeng. Namun, segera saya menyadari: ini adalah salah satu gereja Ortodoks tertua dan paling bersejarah di Kazakhstan.

Namun, keindahannya justru membuat saya merasa ragu untuk mendekat. Ada semacam keengganan yang sulit dijelaskan. Mungkin karena ini adalah tempat ibadah, dan saya merasa bukan bagian dari komunitasnya. Mungkin karena takut dianggap tidak sopan, atau sekadar karena merasa seperti seorang turis asing yang datang tanpa diundang. Jadi, saya memutuskan untuk berjalan memutar, menjelajahi halaman luarnya terlebih dahulu.

Dan justru di situlah saya menemukan sesuatu yang sama sekali tidak saya duga: sebuah papan sederhana dengan gambar mainan anak-anak.

Papan informasi yang ditulis dalam bahasa Rusia ini saya coba pahami, dan ternyata banyak kosakata yang cukup rumit. Namun, berkat bantuan teknologi, saya akhirnya bisa mengerti isinya dengan baik.

Pesan tentang Mainan Anak: Makna dalam Kesederhanaan

Alih-alih informasi umum tentang gereja, papan ini justru membahas topik yang tak terduga: mainan anak-anak. Judulnya dalam bahasa Rusia berbunyi: Dyetskye Igrushky: “Mainan Anak.”

Isinya bukan sekadar nasihat, melainkan sebuah refleksi moral tentang bagaimana memilih mainan yang dapat membentuk karakter dan spiritualitas anak. Papan ini mengingatkan bahwa mainan bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga bagian penting dari pendidikan dan pembentukan jiwa. Mainan yang mendorong kreativitas, kerja sama, dan tidak memicu agresivitas sangat dianjurkan. Terdapat ilustrasi mainan kayu berbentuk gereja dan boneka tradisional.

Saya tertegun. Di tengah dunia yang serba instan ini, papan ini seolah mengajak kita untuk kembali ke nilai-nilai dasar: bahwa iman dimulai dari rumah, dari mainan anak yang kita pilihkan.

Saya kemudian beralih ke papan di sebelahnya. Sekilas, gambarnya berupa ikon yang kemungkinan menjelaskan konsep Tritunggal.

Hal ini terkonfirmasi oleh judulnya dalam bahasa Rusia: Yedinstvo Trekh, beskonechno lyubyashchikh drug druga Lits

(“Kesatuan Tiga Pribadi yang saling mengasihi tanpa batas”)

Singkatnya, papan ini berfungsi sebagai sarana pengajaran iman, menjelaskan konsep Trinitas, kasih Tuhan, dan hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Di tengahnya, terpampang ikon terkenal The Trinity karya Rublev: tiga malaikat yang duduk mengelilingi meja, simbol kedamaian dan cinta ilahi.

Di bagian tengah terdapat tulisan BOG YEST’ LYUBOV’

(“Allah adalah Kasih”)

Pesannya sederhana namun mendalam: “Tuhan adalah Kasih.” Sementara di bagian kiri atas juga terdapat tulisan “BOG YEDIN” (“Allah itu Esa”)

Di bagian lain, terdapat juga nasihat agar umat memandang Tuhan seperti kita memandang matahari: tidak secara langsung, tetapi melalui sinarnya, kehangatannya, dan kehidupan yang ditimbulkannya.

Baca Juga :  Rasakan Liburan dengan Rumah Perpaduan Eksotis dan Modern

Papan ini seolah merupakan undangan untuk tidak hanya mengagumi bangunan, tetapi juga merenungkan maknanya.

Sejarah Katedral: Keajaiban dari Kayu

Setelah membaca kedua papan di halaman, saya kembali mendekati pintu utama katedral dan menyempatkan diri membaca papan informasi yang merangkum sejarahnya.

Nama resmi katedral ini tertulis dalam tiga bahasa: Kazakh, Rusia, dan Inggris: Ascension Cathedral, atau dalam bahasa Rusia Voznecensky Katedralny Cobor.

Ternyata, Ascension Cathedral dibangun pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1904 hingga 1907, ketika kota ini masih dikenal dengan nama Verny, sebelum akhirnya berubah menjadi Almaty. Saya terkejut mengetahui bahwa seluruh struktur bangunan ini terbuat dari kayu, dan konon, tanpa menggunakan satu pun paku logam. Arsiteknya bernama Andrew Zenkov, sehingga katedral ini juga dikenal sebagai Zenkov Cathedral.

Mendengar itu, saya spontan mundur selangkah, menatap bangunan ini lagi dari bawah. Bangunan sebesar ini, berdiri di tengah kota yang rawan gempa, dan sudah bertahan lebih dari satu abad? Rasanya mustahil jika tidak melihatnya langsung. Bahkan, dijelaskan juga bahwa katedral ini selamat dari gempa maha dahsyat pada tahun 1911.

Papan itu juga menyebutkan peran penting gereja ini dalam sejarah lokal. Saat revolusi Soviet bergulir, banyak tempat ibadah ditutup atau dialihfungsikan. Katedral ini pun sempat diubah menjadi museum sejarah dan bahkan digunakan sebagai ruang konser. Saya membayangkan, bagaimana suara cello atau paduan suara bergema di antara dinding kayunya yang hangat.

Baru pada tahun 1995, setelah Kazakhstan merdeka dan kebebasan beragama kembali diakui, gereja ini dikembalikan fungsinya sebagai tempat ibadah Ortodoks. Sejak itu, Ascension Cathedral kembali menjadi salah satu pusat kehidupan rohani di kota Almaty.

Membaca itu semua membuat saya berpikir: tempat ini bukan hanya bangunan tua. Ia adalah saksi bisu dari perubahan zaman, dari rezim ke rezim, dari keheningan spiritual ke kebisingan ideologi, lalu kembali lagi ke keheningan.

Dan akhirnya, saya pun memutuskan untuk masuk. Bukan sebagai pemeluk iman, tetapi sebagai manusia yang ingin merasakan apa yang sudah dilihat dan dialami oleh tempat ini selama lebih dari satu abad.

Jadwal Ibadah

Di sisi kanan pintu masuk, terdapat papan kecil berbingkai kayu yang tampak sederhana, tetapi jelas sangat penting. Di situ tertulis jadwal ibadah harian dan mingguan, sebagian besar dalam bahasa Rusia dan Kazakh. Ada misa pagi, sore, dan layanan khusus di hari Minggu serta hari-hari suci Ortodoks.

Beberapa bagian tidak saya mengerti sepenuhnya, tetapi satu hal menjadi jelas: tempat ini hidup. Ini bukan bangunan museum yang hanya dikunjungi turis, tetapi benar-benar digunakan. Di dalamnya ada komunitas, ada doa, ada suara-suara yang naik diam-diam ke langit.

Melihat itu, perasaan ragu saya kembali muncul sejenak. Tapi kali ini bukan rasa takut akan melanggar kesopanan, melainkan rasa hormat. Saya jadi lebih berhati-hati. Saya menunggu sejenak di depan pintu, memastikan tidak ada ibadah yang sedang berlangsung. Dan saat semuanya terasa tenang, saya pun menarik nafas dalam-dalam dan mendorong pintu kayu besar itu perlahan.

Langkah pertama saya ke dalam katedral terasa berat, tapi sekaligus ringan. Seperti melangkah masuk ke dunia yang berbeda, tempat di mana waktu berjalan lambat dan suara langkah sendiri terdengar lebih jernih.

Interior Katedral

Begitu pintu tertutup di belakang saya, dunia luar terasa langsung menghilang. Di dalam katedral, segalanya berubah. Cahaya lembut dari jendela kaca patri menyebar pelan ke seluruh ruang, menciptakan semburat warna biru, merah, dan emas di lantai dan dinding kayu yang hangat. Udara terasa lebih tenang, seolah suara apa pun yang keras akan langsung diredam oleh keteduhan tempat ini.

Saya berdiri sebentar di dekat pintu, membiarkan mata saya menyesuaikan diri. Di depan saya terbentang ikonostasis megah: dinding penuh ikon yang memisahkan ruang altar dari ruang jemaat. Emasnya tidak mencolok, tetapi menyinari ruangan dengan cara yang lembut, nyaris seperti cahaya matahari sore yang menembus pepohonan.

Baca Juga :  Emas dan Batubara: Warisan Soviet di Tajikistan

Tidak ada bangku-bangku panjang seperti di gereja Katolik atau Protestan. Beberapa jemaat berdiri dalam keheningan, ada yang menyalakan lilin kecil di sudut kanan, ada pula yang berdoa dalam bisikan nyaris tak terdengar. Saya pun hanya berjalan pelan, berusaha tidak mengganggu siapa pun.

Saya sempat berhenti di depan salah satu ikon besar, mencoba mengerti raut wajah yang digambarkan dengan presisi dan penuh ekspresi spiritual. Sejenak saya bisa merasakan energi yang khas: bukan dari kekuatan visual semata, tapi dari keheningan yang mengelilinginya.

Yang paling menyentuh saya bukanlah keindahan artistik tempat ini, melainkan suasana batinnya. Rasanya seperti tempat di mana beban bisa dilepaskan, bukan karena seseorang berkata demikian, tapi karena ruangnya mengizinkanmu untuk itu.

Kalimat Liturgi dan Lilin Lilin

Di salah satu dinding samping, dekat dengan tempat menyalakan lilin, saya melihat sebuah papan kayu dengan tulisan panjang dalam huruf Kiril. Beberapa bagian saya kenali karena mirip dengan alfabet Rusia, tapi artinya masih asing. Saya mendekat perlahan, mencoba membaca: beberapa kata terbaca: “Bog,” “Isus Khristos,” “Dukh Svyatoy,” yang artinya Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Walau tidak yakin, saya bisa menyimpulkan bahwa ini adalah pengakuan iman.

Teks itu adalah kredo atau Simbol Iman yang biasa dibacakan dalam liturgi gereja Ortodoks.

Saya berjalan lagi dan melihat ke sudut lain katedral. Ada sebuah ruangan atau sudut untuk berdoa dengan sebuah ikon besar berbentuk santo atau orang suci. Wajahnya tampak gelap karena pencahayaan yang temaram. Di kedua sisi bahu ikon terdapat gambar ikon yang lebih kecil.

Di depannya terdapat lilin-lilin doa di atas tempat yang berwarna emas. Tempat ini disebut panikadilo. Umat biasanya menyalakan lilin sebagai permohonan doa bagi orang yang masih hidup atau yang telah wafat. Menurut kepercayaan,

sinar lilin adalah lambang doa yang akan terus naik ke surga.

Di belakang, ada kaca pateri

dengan warna merah, kuning, dan biru yang bukan hanya hiasan, tetapi sering dianggap melambangkan terang surgawi dan kehadiran Roh Kudus dalam ruangan ini.

Sebuah Kunjungan yang Tak Direncanakan, Tapi Mengubah Irama Hari

Saya datang ke Taman Panfilov tanpa rencana yang jelas. Hanya ingin berjalan kaki, menghirup udara segar, dan mungkin memotret patung tentara atau bangunan tua.

Namun, seperti banyak hal dalam perjalanan, hal-hal terbaik justru terjadi saat kita tidak mencarinya.

Saya tidak pernah mengira bahwa sebuah gereja Ortodoks bisa membuat saya berhenti sejenak dan masuk begitu dalam ke dalam suasana hati saya sendiri. Bukan karena saya paham teologinya, bukan karena saya setuju dengan doktrin yang tertera di dinding, tetapi karena tempat ini memberikan ruang: ruang untuk diam, berpikir, dan merenung.

Saya keluar dari katedral tanpa membawa apa pun yang bisa dipajang: tidak ada brosur, tidak ada suvenir, bahkan tidak ada banyak foto dari dalam. Tapi saya merasa membawa sesuatu yang lebih berharga: perasaan tenang, yang mungkin hanya akan bertahan sebentar, tetapi cukup untuk mengubah cara saya melihat hari itu.

Kadang, saat bepergian, kita mencari yang spektakuler: gunung, langit, festival, makanan. Tapi hari itu saya belajar bahwa kadang yang paling menyentuh adalah keheningan yang ditemukan di balik pintu kayu tua, di bawah langit-langit yang tidak dipaku, dan di tengah doa yang tidak saya pahami, tetapi bisa saya rasakan.

Ah, siapa sangka kalau saya baru saja mampir ke katedral kayu terbesar di dunia. Dan saya pun ingat pernah mampir ke gereja besi di Istanbul. Kebetulan keduanya adalah gereja Ortodoks.

Almaty, suatu hari di bulan September

Berita Terkait

9 Patung Yesus Tertinggi di Dunia: Salah Satunya Megah Berdiri di Indonesia!
18 April Libur Nasional: Cek Daftar Hari Penting Bulan Ini!
Vale Indonesia Berdayakan Warga: Reklamasi Tambang Libatkan Komunitas Lokal
Ipeka Palembang Fun Run 2025: Lari Seru Bangun Karakter dan Solidaritas!
Naskah Sunda Kuno Mendunia: UNESCO Akui Warisan Memory of The World
Indonesia Promosikan Pariwisata Unggulan di World Expo Osaka 2025
Lima Warisan Dokumenter Indonesia Resmi Diakui UNESCO
Rayakan Galungan di Bali: Panduan Aktivitas Liburan Penuh Makna!

Berita Terkait

Rabu, 16 April 2025 - 09:47 WIB

9 Patung Yesus Tertinggi di Dunia: Salah Satunya Megah Berdiri di Indonesia!

Rabu, 16 April 2025 - 06:48 WIB

18 April Libur Nasional: Cek Daftar Hari Penting Bulan Ini!

Selasa, 15 April 2025 - 05:43 WIB

Vale Indonesia Berdayakan Warga: Reklamasi Tambang Libatkan Komunitas Lokal

Selasa, 15 April 2025 - 04:55 WIB

Ipeka Palembang Fun Run 2025: Lari Seru Bangun Karakter dan Solidaritas!

Selasa, 15 April 2025 - 03:20 WIB

Naskah Sunda Kuno Mendunia: UNESCO Akui Warisan Memory of The World

Berita Terbaru

finance

IHSG Melemah 0,13% di Sesi Pertama Rabu

Rabu, 16 Apr 2025 - 13:24 WIB

finance

Laba Bersih Sinar Terang Mandiri

Rabu, 16 Apr 2025 - 13:19 WIB