JAKARTA, RAGAMUTAMA.COM – Kebijakan tarif impor terbaru Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, diperkirakan akan menimbulkan gejolak di pasar saham Indonesia dalam waktu dekat, cenderung menciptakan koreksi.
Saat ini, pasar modal Indonesia sedang dalam masa libur Lebaran dan Idul Fitri. Bursa Efek Indonesia (BEI) akan kembali beroperasi pada Selasa (8/4/2025).
Investor Mempertimbangkan Dampak Tarif Baru
Josua Pardede, Kepala Ekonom Permata Bank, menyatakan bahwa kebijakan tarif tinggi AS berpotensi memengaruhi sentimen investor, khususnya terhadap saham perusahaan eksportir Indonesia.
“Investor mungkin akan mencermati perkembangan lebih lanjut dari situasi ini dan respons pemerintah Indonesia terhadapnya,” kata Josua pada Kamis (3/4/2025).
Ia menambahkan, saham perusahaan yang bergantung pada ekspor ke AS berisiko mengalami tekanan jual karena investor menurunkan proyeksi pendapatan.
Selain itu, potensi pelemahan nilai tukar rupiah juga menjadi sentimen negatif tambahan bagi pasar modal, terutama bagi investor asing yang sangat memperhatikan stabilitas mata uang.
“Pasar modal Indonesia setelah libur panjang kemungkinan masih akan dipengaruhi sentimen negatif terkait kebijakan tarif AS ini,” tambahnya.
Saham Ekspor Terdampak, Sektor Domestik Menjadi Alternatif
Saham sektor ekspor diperkirakan akan langsung terdampak kebijakan ini. Sebaliknya, sektor yang lebih berorientasi pada pasar domestik, seperti konsumsi dan perbankan, mungkin menjadi pilihan yang lebih menarik bagi investor sebagai instrumen lindung nilai dari volatilitas pasar.
Investor juga akan mengamati respons pemerintah Indonesia, apakah akan ada kebijakan balasan atau strategi mitigasi lainnya. Respons positif berpotensi menstabilkan sentimen pasar dalam jangka pendek hingga menengah.
Tarif AS Berlaku Luas
Kebijakan tarif baru Trump berpengaruh pada lebih dari 180 negara dan wilayah.
Kebijakan ini meliputi tarif timbal balik yang disesuaikan dengan tarif efektif yang diterapkan negara lain terhadap produk AS.
Di samping itu, AS juga menerapkan tarif dasar 10 persen untuk negara-negara di luar daftar tersebut, yang masih dapat ditingkatkan tergantung kondisi manufaktur AS.
Investor akan terus memantau perkembangan kebijakan ini, termasuk pengaruhnya terhadap hubungan dagang Indonesia-AS.