Rupiah Tembus Rp 16.600, Ekonom Kritik Pernyataan ‘Pede’ BI Soal Ekonomi RI

- Penulis

Sabtu, 29 Maret 2025 - 13:35 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

RAGAMUTAMA.COM, JAKARTA — Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi pernyataan Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan fundamental ekonomi Indonesia kuat dan berbeda jauh dari kondisi krisis 1998. Menurut Achmad, BI  terkesan terlalu ‘Percaya Diri (Pede)’, di tengah pelemahan rupiah yang kian dalam hingga menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS. 

Achmad mengungkit pernyataan Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M Juhro yang berargumen cadangan devisa saat ini lebih besar (lebih dari 150 miliar dolar AS) dibandingkan 1998 sekitar 20 miliar dolar AS, mekanisme mitigasi lebih terlatih, dan defisit transaksi berjalan terkendali yakni -0,32 persen PDB. 

“Retorika ini mengabaikan fakta rupiah tetap menjadi mata uang terlemah di Asia Tenggara pada 2025, dengan depresiasi 12 persen yoy, lebih buruk daripada peso Filipina (-7 persen) dan ringgit Malaysia (-6 persen),” kata Achmad dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (28/3/2025) lalu. 

Adapun jika diukur berdasarkan real effective exchange rate (REER), rupiah telah terdepresiasi 35 persen sejak 2020. Sementara ringgit Malaysia alami depresiasi hanya 18 persen. 

Menurutnya, membandingkan kondisi rupiah saat ini yang pelemahannya merambat dari Rp 16.500 per dolar AS ke Rp 16.600 per dolar AS dengan tahun 1998 yang melesat dari Rp 2.800 per dolar AS menuju Rp 16.000-an per dolar AS, tidak tepat. Sebab, kata Achmad, BI lupa bahwa daya beli rupiah 2025 jauh lebih rendah.  

“Artinya, kepercayaan terhadap rupiah sebagai penyimpan nilai terus merosot—indikator yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan ‘sentimen sementara’,” ungkapnya. 

Utang korporasi

Achmad juga menyoroti mengenai utang korporasi, yang menurutnya menjadi bom waktu yang diabaikan BI. Ia menilai, meski BI mengklaim telah belajar dari krisis 1998 dengan memperkuat pengawasan perbankan, namun ada yang lalai diawasi yakni utang korporasi luar negeri. 

Menurut catatannya, per Februari 2025, utang jangka pendek korporasi Indonesia mencapai 48 miliar dolar AS (31 persen dari cadev), dengan 65 persen di antaranya tidak di-hedging. “Padahal, pada 1998, krisis diawali oleh gagal bayar utang korporasi yang tidak terlindungi,” ujarnya. 

Baca Juga :  Cara Mendapatkan Uang di Lynk Id, Cocok untuk Side Hustle!

Achmad menyebut, Bank Sentral Thailand (BOT) sejak 2023 mewajibkan perusahaan dengan utang valas di atas 10 juta dolar AS untuk melakukan hedging minimal 50 persen. Sedangkan di Indonesia, aturan serupa hanya bersifat voluntary, sehingga hanya 30 persen korporasi yang mematuhi. 

“Akibatnya, ketika rupiah melemah ke Rp 16.000 per dolar AS, perusahaan-perusahaan terpaksa membeli dolar AS secara panik—memperparah tekanan pada cadev dan kurs. BI terlalu memanjakan korporasi untuk meminjam valas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Achmad mencatat setidaknya ada tiga paralel berbahaya yang diabaikan oleh BI. Pertama, ketergantungan pada modal asing jangka pendek. Portofolio asing di pasar saham Indonesia mencapai 42 persen pada 2025, lebih tinggi daripada 1997 seebsar 35 persen. Ketika The Fed menaikkan suku bunga Maret 2025, aliran modal keluar dari Indonesia mencapai 2,8 miliar dolar AS, terbesar di ASEAN.  

Kedua, defisit transaksi berjalan yang artifisial: defisit Indonesia (-0,32 persen PDB) terlihat kecil hanya karena impor melemah (pertumbuhan impor 2025: 1,8 persen), bukan karena ekspor menguat. Achmad menyebut itu mirip dengan 1997, yang mana defisit neraca berjalan ‘terkontrol’ karena resesi impor.  

Ketiga, overconfidence bank sentral alias terlalu pede. Eks Gubernur BI Sudrajat Djiwandono pada 1997 juga berseru bahwa ‘fundamental ekonomi kuat’.  “Kini, BI mengulangi narasi serupa sambil menutup mata pada rasio utang korporasi/PDB yang membengkak dari 28 persen (2020) ke 35 persen (2025),” ungkap Achmad. 

Intervensi likuditas BI

Achmad juga megkritisi mengenai klaim BI yang melakukan penambahan likuiditas yang bertujuan untuk menjaga stabilitas rupiah. Menurutnya, kebijakan tersebut justru kontraproduktif. Ia menyebut, pada Maret 2025 BI meningkatkan likuiditas rupiah dengan membeli surat utang pemerintah atau SBN senilai Rp 120 triliun, namun di sisi lain BI menjual 1,6 miliar dolar AS untuk intervensi kurs. 

“Hasilnya, suplai rupiah di pasar melonjak, memperburuk tekanan depresiasi. Mekanisme ini mirip dengan kebijakan sterilized intervention era 1997, yang justru memicu double deficit (defisit fiskal dan neraca berjalan) karena BI mencetak uang baru untuk membeli dolar AS,” terangnya. 

Baca Juga :  Bitcoin Naik, Dogecoin Turun pada Jumat (7/2), Cek Petunjuk Jual Beli Aset Kripto

Achmad berujar, di Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) justru menghindari hal tersebut, dengan mengoptimalkan reverse repo dan foreign exchange swaps untuk menyerap likuiditas berlebih tanpa memperbesar suplai ringgit. Hasilnya, inflasi Malaysia terjaga di 2,8 persen pada 2025, sedangkan Indonesia meski inflasi rendah yakni 1,57 persen, namun daya beli rupiah diniai tergerus lebih cepat. “BI senang melakukan intervensi berbiaya mahal seperti saat ini,” ujarnya. 

Audit Antisipasi Rupiah ke Rp 17.000 

Menurut hemat Achmad, perlu upaya yang lebih komprehensif dalam mencegah terjadinya pelemahan rupiah yang diprediksi analis menjadi kian dalam ke level Rp 17.000 per dolar AS pada kuartal II/2025. Ia menyebut, audit kinerja independen terhadap BI harus mencakup tiga hal. 

Pertama, efisiensi penggunaan cadangan devisa. Sebanyak 60 persen cadev Indonesia diinvestasikan dalam surat utang AS jangka panjang dengan imbal hasil 2,5-3 persen, sementara Bank Sentral India menempatkan 70 persen cadev dalam emas dan treasury bills AS yang likuid. 

“BI harus dipertanyakan mengabaikan prinsip liquidity over return dalam krisis,” kata Achmad. 

Kedua, kebijakan intervensi yang tidak kompetitif. BI masih mengandalkan intervensi spot market (biaya tinggi), sementara bank sentral lain beralih ke currency swaps dengan mitra global. 

“Meski katanya sudah dilalukan double intervetion dan menggunakan NDF namun size-nya masih tidak signifikan. Misalnya, Bank of Korea (BOK) memiliki swap lines senilai 90 miliar dolar AS dengan The Fed dan Bank of Japan-jalur darurat yang tidak dimiliki BI,” tuturnya. 

Ketiga, koordinasi dengan pemerintah yang lemah. Achmad menyebut BI gagal mendorong Kementerian Keuangan mengonversi utang valas pemerintah ke dalam rupiah, padahal Filipina berhasil mengurangi beban utang dengan menerbitkan global bonds berbasis peso. 

Berita Terkait

Harga Minyak RI Turun: Dampak Tarif AS & Kelebihan Pasokan Global
Investor Kakap Borong UNVR: Strategi di Balik Saham Unilever yang Tertekan
Strategi Ekspansi: Anak Usaha Chandra Asri Pacific Lepas Saham Pelayaran
Kisah Cinta Viral: Gadis OKU Timur Dipinang Bule Selandia Baru dengan Mahar Fantastis
Telkom (TLKM) Siapkan Buyback Saham Rp3 Triliun
Tips Jitu: Deteksi Uang Palsu, Kenali Ciri-Ciri Keaslian Rupiah!
Anak Usaha Chandra Asri Akuisisi Saham Mayoritas Marina Indah Maritim
Perang Dagang Mencekam: Strategi Investasi Emas, Saham, Kripto Paling Cuan?

Berita Terkait

Kamis, 17 April 2025 - 15:43 WIB

Harga Minyak RI Turun: Dampak Tarif AS & Kelebihan Pasokan Global

Kamis, 17 April 2025 - 15:39 WIB

Investor Kakap Borong UNVR: Strategi di Balik Saham Unilever yang Tertekan

Kamis, 17 April 2025 - 15:19 WIB

Strategi Ekspansi: Anak Usaha Chandra Asri Pacific Lepas Saham Pelayaran

Kamis, 17 April 2025 - 14:52 WIB

Kisah Cinta Viral: Gadis OKU Timur Dipinang Bule Selandia Baru dengan Mahar Fantastis

Kamis, 17 April 2025 - 14:47 WIB

Telkom (TLKM) Siapkan Buyback Saham Rp3 Triliun

Berita Terbaru