JAKARTA, KOMPAS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkap dugaan PT Pertamina Patra Niaga telah membeli Pertalite dan mengoplosnya menjadi Pertamax.
Tindakan ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, yang kemudian berbondong-bondong melaporkan pengalamannya kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Hingga Sabtu (1/3/2025), LBH Jakarta mencatat telah menerima 502 pengaduan dari warga yang mengaku menjadi korban Pertamax oplosan.
Pengaduan tersebut diterima baik secara online maupun offline.
Baca juga: Terima Ratusan Pengaduan Tentang Pertamax Oplosan, LBH Jakarta: Masih dalam Proses Pengkajian
“Hingga sekarang, sudah ada 502 pengaduan yang masuk,” kata Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta, Daniel Winarta.
Daniel menjelaskan, saat ini pengaduan tersebut sedang dalam proses pengkajian. Pihaknya menunggu informasi lebih lanjut untuk menentukan langkah selanjutnya.
“Setelah itu, ada beberapa langkah yang bisa diambil, yaitu gugatan warga negara (citizen lawsuit) atau gugatan perwakilan kelas (class action),” ujarnya.
Gugatan warga negara akan dilayangkan jika permasalahan berkaitan dengan tata kelola atau kebijakan.
Sementara itu, gugatan class action bisa diajukan terkait kerugian yang dialami oleh masyarakat Indonesia.
Alami kerugian ekonomi
Daniel mengungkapkan, sebagian besar pengaduan yang diterima berkaitan dengan kerugian ekonomi yang dialami warga akibat Pertamax oplosan.
“Sebanyak 426 pengaduan secara daring yang masuk,” ucap Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan dalam konfersi pers di kantornya Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).
Baca juga: Ratusan Pengaduan Masuk ke LBH Jakarta, Sebagian Besar Terkait Pertamax Oplosan
Daniel Winarta mengungkapkan, sebagian besar ratusan pengaduan yang diterima LBH Jakarta adalah terkait kerugian warga karena Pertamax oplosan.
“Warga ada yang mengalami kerugian ekonomis berupa selisih harga produk,” kata Daniel, Sabtu (1/3/2025).
Selain itu, banyak pengaduan juga yang menyangkut kerusakan kendaraan akibat kualitas BBM yang tidak sesuai.
“Kerusakan kendaraan akibat RON yang kualitasnya tidak sebaik yang diiklankan,” jelas Daniel.
Daniel berjanji akan membuat rekapitulasi terhadap seluruh pengaduan tersebut.
“Ketika penutupan pengaduan akan kami rekapitulasi dan informasikan,” terang dia.
Proses pengkajian pengaduan warga
Daniel menyebutkan, LBH Jakarta saat ini tengah melakukan pengkajian terhadap ratusan pengaduan tentang Pertamax oplosan.
“Ratusan pengaduan itu masih dalam proses pengkajian dan menunggu informasi lebih lanjut,” ucapnya.
Baca juga: Antrean Pertamax di 3 SPBU Jakarta Mendadak Sepi Usai Skandal Korupsi Pertamina Terbongkar
Ia menegaskan, setelah proses pengkajian, warga akan memiliki beberapa opsi untuk mengatasi keresahan mereka.
“Setelah itu, ada beberapa langkah yang bisa diambil, yaitu gugatan warga negara atau gugatan perwakilan kelas,” ujar Daniel.
Masyarakat resah
Melihat meningkatnya jumlah masyarakat yang resah akibat kasus Pertamax oplosan, LBH Jakarta membuka pos pengaduan secara offline di kantornya sejak Jumat (28/2/2025).
Pembukaan pos ini dianggap penting karena LBH Jakarta melihat semakin meluasnya kemarahan masyarakat.
“Kami memandang perlu membuka pos pengaduan untuk memfasilitasi klaim kerugian yang dialami masyarakat,” tutur Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan.
Baca juga: Antrean SPBU Shell Mengular, Petugas: Sampai Buka Empat Pompa Tambahan
Sebelumnya, LBH Jakarta telah membuka pos pengaduan secara online pada 26 Februari.
Posko pengaduan itu dibuka sebagai bentuk respons cepat LBH Jakarta untuk masyarakat yang resah dan merasa dirugikan dari kasus Pertamax oplosan.
Fadhil menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan kompensasi kepada warga yang menjadi korban Pertamax oplosan.
“Jika mengalami kerugian, masyarakat berhak mendapatkan kompensasi,” ujarnya.
Pertamina dinilai melanggar hukum jika terbukti menjual Pertamax oplosan, mulai dari menjual barang yang tidak sesuai hingga melanggar hak konsumen.
Seharusnya, Pertamina sebagai penyedia bisa menjamin kualitas dari BBM yang dijualnya agar bisa dinikmati masyarakat dengan baik.
Namun, bukan menjaga kualitasnya, Pertamina justru diduga mengoplos Pertalite menjadi Pertamax. Dampak dari kasus ini dinilai cukup besar.
Baca juga: Dugaan Pertamax Oplosan, Sudirman Said: Kepercayaan Publik Menurun
Masyarakat kapok
Beberapa warga mengaku trauma menggunakan Pertamax dan mempertimbangkan beralih ke bahan bakar dari SPBU swasta.
Salah satu warga yang menyampaikan keresahannya adalah Putra (32), asal Koja, Jakarta Utara.
Ia mengungkapkan, penggunaan Pertamax membuatnya merasa trauma karena membayar untuk Pertamax, tetapi menerima Pertalite oplosan.
“Kapok banget (beli Pertamax), kalau brand swasta SPBU-nya lebih banyak lagi jaringannya seperti Pertamina, saya lebih pilih brand lain yang nilai oktannya sama seperti Pertamax,” ujarnya, Rabu (26/2/2025).
Meskipun Putra memiliki opsi untuk menggunakan Pertamax Turbo yang lebih berkualitas, ia merasa khawatir bahwa pengoplosan akan terulang.
“Saya bisa saja menggunakan Pertamax Turbo, tetapi saya tidak yakin apakah itu akan dioplos lagi oleh oknum di Pertamina untuk kepentingan pribadi,” ungkap Putra.
Sementara itu, Mario Anwar (35) mengaku jera membeli Pertamax. Ia bahkan tidak berencana beralih ke Pertalite karena antrean panjang di SPBU.
Baca juga: Di Tengah Skandal Korupsi Pertamina, Pengendara Ini Tak Menyesal Beralih ke SPBU Swasta
“Saya merasa kapok, tapi lebih baik memilih bahan bakar dengan oktan yang lebih tinggi daripada Pertamax,” kata Mario.
Seorang mahasiswa, Tarjo (22), juga tidak terkejut dengan pengoplosan tersebut.
“Tidak heran, pemerintah sudah biasa mengakali kantongnya sendiri, rakyat yang kena imbasnya,” ujarnya.
Tarjo yang baru mulai beralih ke SPBU pemerintah menyesal mengisi BBM dengan Pertamax. Ia rela membayar lebih mahal, tetapi mendapatkan kualitas Pertalite.
“Nyesel banget sama seperti buang-buang uang, kalau yang diisi ternyata Pertalite,” jelas dia.
Senada dengan Tarjo, warga lainnya, Rudi (45) ojek online, juga menyesal mengisi Pertamax yang ternyata Pertalite.
“Menyesal sekarang beli Pertamax karena bisa membahayakan mesin motor juga,” tutur Rudi.
Rudi menegaskan akan beralih menggunakan SPBU swasta.
“Saya isi di SPBU pemerintah malah menjadi kacau seperti ini. Saya akan beralih dan pasti isi BBM ke Shell,” tutur dia.
Baca juga: Komisi XII DPR: Kualitas BBM Hasil Sidak SPBU Diumumkan Besok
Dugaan korupsi Pertamina
Pertamina diduga korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan subholding serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kejagung memperkirakan potensi kerugian negara akibat korupsi Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun pada tahun 2023.
Melalui keterangan Kejagung, terungkap bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite dan mengoplosnya menjadi Pertamax dengan cara yang tidak sah.
“Hal tersebut tidak diperbolehkan,” tegas keterangan tersebut.
Kejagung memperkirakan potensi kerugian negara akibat korupsi Pertamina mencapai Rp 193,7 triliun pada 2023, dengan total akumulasi selama lima tahun yang berpotensi mendekati Rp 1 kuadriliun.
Skema Kerugian Negara Akibat Korupsi Pertamina Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa perhitungan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun pada 2023 berasal dari lima skema utama:
- Ekspor minyak mentah ilegal – Rp 35 triliun
- Impor minyak mentah melalui broker – Rp 2,7 triliun
- Impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker – Rp 9 triliun
- Kompensasi BBM yang tidak sesuai prosedur – Rp 126 triliun
- Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran – Rp 21 triliun
Baca juga: PDI-P Sebut Ada Upaya Penggiringan Opini soal Keterlibatan Ahok dalam Korupsi Pertamina
Jika pola ini berlangsung sejak 2018, maka total potensi kerugian negara selama lima tahun bisa melebihi Rp 193,7 triliun per tahun.
“Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara,” kata Harli dalam program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).
Meski demikian, Kejagung masih membutuhkan analisis lebih lanjut untuk menentukan total kerugian negara secara pasti, mengingat setiap tahun terdapat komponen kerugian yang berbeda.