Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebut telah terjadi lonjakan dramatis dalam peristiwa cuaca ekstrem terkait iklim dalam 50 tahun terakhir.
“Selama 50 tahun terakhir, kejadian cuaca ekstrem telah meningkat 400% akibat perubahan iklim,” kata Kantor Regional WHO untuk Eropa, seperti dikutip Anadolu Agency, pada Rabu (26/2).
Badan PBB tersebut juga menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit menular, penyakit pernafasan dan penyakit tidak menular, kesehatan mental, dan cedera seperti tenggelam.
“Perubahan iklim mendorong beban penyakit dari semua jenis penyakit,” kata WHO.
Baca juga:
- Harga Pangan Diperkirakan Melonjak Tahun Ini Imbas Cuaca Ekstrem
- Kenapa Indonesia Sering Alami Cuaca Ekstrem? Ini Penjelasan BMKG
- Survei WEF: Cuaca Ekstrem Jadi Risiko Global Terbesar dalam Satu Dekade ke Depan
Lebih lanjut, laporan tersebut menyerukan tindakan kolektif untuk mengatasi krisis iklim dan dampaknya terhadap kesehatan.
Cuaca Ekstrem Menjadi Risiko Global
Pada awal tahun ini, Laporan Risiko Global 2025 dari World Economic Forum (WEF) menyebut peristiwa cuaca ekstrem telah mengukuhkan posisinya di antara risiko-risiko global teratas selama empat tahun berturut-turut.
Cuaca ekstrem menduduki peringkat kedua secara keseluruhan dan peringkat pertama dalam risiko lingkungan. Peristiwa-peristiwa ini tidak lagi merupakan bencana yang terisolasi, tetapi merupakan krisis berulang yang membentuk kembali ekonomi, masyarakat, dan ekosistem.
Skala kerusakan yang semakin meningkat menyoroti kenyataan yang mendesak: adaptasi iklim harus bergerak dari pinggiran diskusi kebijakan ke pusat aksi global.
Pada tahun 2024, dunia menyaksikan suhu yang memecahkan rekor. Organisasi Meteorologi Dunia mengonfirmasikannya sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Bersamaan dengan itu, banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat jutaan orang mengungsi di Asia Selatan, kebakaran hutan melanda Eropa dan Amerika Utara, dan kekeringan yang berkepanjangan membuat beberapa wilayah di Afrika mengalami kerawanan pangan.
Menurut Munich Re, total kerugian ekonomi akibat bencana alam pada 2024 melebihi US$ 320 miliar (Rp 5.328 triliun) secara global. Angka kerugian ini hampir 40% lebih tinggi dari rata-rata tahunan selama satu dekade.
Namun, di luar kerugian finansial, ada juga korban jiwa. Bencana terkait iklim telah menyebabkan lebih dari 20 juta orang mengungsi setiap tahunnya dalam satu dekade terakhir. Masyarakat yang rentan di belahan dunia Selatan terkena dampak yang tidak proporsional, dengan sumber daya yang terbatas untuk membangun kembali atau memulihkan diri, menggarisbawahi ketidakadilan yang mencolok dalam krisis iklim.