Awas, Komitmen BI Beli SBN Perumahan Rawan Kikis Independensi

- Penulis

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:26 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) Perumahan. Ia adalah surat utang yang ditujukan untuk membiayai program pembangunan 3 juta rumah. Selain itu, sSBN Perumahan diharapkan dapat digunakan untuk mendukung program Asta Cita lain yang diusung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Melalui pembiayaan alternatif tersebut, kebutuhan pendanaan program-program Asta Cita diklaim tidak akan membebani APBN. Sebaliknya, penerbitan SBN Perumahan bakal membuat disiplin fiskal tetap terjaga.

“Kita akan terus develop berbagai creative financing. Nanti, akan kita kembangkan bersama sehingga dari sisi APBN disiplin fiskalnya tetap terjaga, namun responsif dan mampu memiliki daya dukung yang lebih besar. Tidak hanya [sektor] perumahan, tapi juga sektor lain,” ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam konferensi pers bersama Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait; Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo; dan Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2025) malam.

Sayangnya, Menkeu tak merinci lebih lanjut soal skema penerbitan SBN Perumahan tersebut. Pun berapa nilai surat utang yang bakal diterbitkan dan juga tenornya.

Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, mengatakan bahwa seluruh detil terkait SBN Perumahan masih harus dibahas terlebih dulu oleh pemerintah, yang dalam hal ini Kemenkeu dan Kementerian PKP, bersama BI dan DPR. Pembahasan tersebut rencananya bakal digelar pekan ini dalm Rapat Kerja bersama Komisi XI.

Untuk kelancaran penerbitan SBN Perumahan itu, Misbakhun bakal mengonsolidasikan rencana itu terlebih dulu dengan para anggota Komisi XI DPR.

“Tadi, seperti janji saya, akan mengkonsolidasikan itu [di Komisi XI] untuk memberikan dukungan penuh. Bahwa mereka [anggota Komisi XI] untuk tidak ada keraguan dalam rangka menjadikan dukungan [likuiditas] itu,” kata dia di Kantor Kemenkeu, dikutip Senin (24/2/2025).

Menurut politikus Partai Golongan Karya (Golkar) itu, dukungan likuiditas itu sangat penting bagi program 3 juta rumah yang merupakan salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo. Demi mewujudkan program itu pula, BI-lah yang akan membeli SBN Perumahan di pasar sekunder (domestik).

“Bagaimanapun juga, programnya Bapak Prabowo soal perumahan ini adalah program yang harus terwujud dan harus bisa dilaksanakan, dan harus mendapatkan dukungan likuiditas yang memadai. Karena, dukungan likuiditas itulah yang paling penting mengatasi backlog [kesenjangan antara jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat dengan jumlah rumah yang sudah terbangun] itu,” jelas Misbakhun.

Meski demikian, baik Misbakhun maupun Sri Mulyani memastikan bahwa SBN Perumahan merupakan skema pembiayaan program 3 juta rumah di luar Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang sepenuhnya berasal dari APBN.

Perlu diketahui, Kemenkeu menganggarkan alokasi dana sebesar Rp28,2 triliun untuk pembangunan 220 ribu unit rumah pada 2025.

Baca juga: Sri Mulyani akan Terbitkan SBN untuk Dukung Program 3 Juta Rumah

BI Jadi Pembeli SBN Perumahan Kendati belum ada nilai pasti dari Kemenkeu, Menteri PKP, Maruarar Sirait alias Ara, menilai bahwa SBN Perumahan akan diterbitkan dalam jumlah besar. Sebab, melalui perilisan instrumen pembiayaan yang nantinya bakal dibeli BI di pasar sekunder, menunjukkan bahwa baik Kemenkeu sebagai otoritas fiskal dan BI yang merupakan otoritas moneter satu tujuan dalam menyukseskan program Asta Cita.

“Kami sepakat belum menyampaikan angkanya dulu, sesudah kami mengkonsolidasikan ke semua pihak. Tapi, saya pastikan jumlahnya besar dan ini menunjukkan dukungan Bank Indonesia [BI] untuk sektor perumahan dan ini suatu langkah terobosan. Pada waktunya, kami nanti akan rapat di DPR dan juga pada pihak yang perlu kami laporkan,” kata Ara usai konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2025).

Meski nilai maupun skema penerbitan SBN Perumahan belum dirilis pemerintah, BI telah berkomitmen untuk menjadi pembeli surat utang pemerintah tersebut di pasar domestik. Dalam hal ini, pembelian SBN akan digunakan untuk dua hal: debt switching atau konversi utang atas utang jangka pendek pemerintah kepada BI ke utang jangka panjang dan sebagai dukungan pembiayaan program Asta Cita Prabowo-Gibran.

Baca Juga :  Bos BRI (BBRI) Beberkan Strateginya Hadapi Tren Pelemahan Harga Saham

Perlu diketahui, skema debt switching ini akan dilakukan untuk utang jatuh tempo 2025 sebesar Rp100 triliun. Utang jatuh tempo ini berasal dari pembelian SBN saat Pandemi COVID-19 dalam rangka pelaksanaan burden sharing atau konsep berbagi beban antara pemerintah dan BI dalam menghadapi krisis ekonomi.

“Kami sudah bicara dengan Menteri Keuangan, yang dananya [dari pembelian SBN] dapat digunakan tidak hanya untuk debt switching SBN yang jatuh tempo ex-COVID-19, tetapi juga untuk pendanaan program perumahan dan program lain di Asta Cita,” ujar Perry, Kamis (20/2/2025).

Selain melalui pembelian SBN Perumahan di pasar sekunder, andil BI dalam pembiayaan program 3 juta rumah juga diberikan melalui insentif likuiditas yang disalurkan melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Besarnya mencapai Rp80 triliun, naik dari sebelumnya yang hanya senilai Rp23,19 triliun.

Kata Perry, komitmen penuh BI dalam pendanaan program-program Asta Cita ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya.

“Kami meyakini, program dari Asta Cita ini bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat,” sambungnya.

Efek Samping Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyadari betul posisi BI dalam pembelian SBN Perumahan di pasar sekunder itu dimaksudkan untuk menjaga stabilitas premi risiko obligasi domestik di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi imbas perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina.

Namun, di sisi lain, pembelian SBN Perumahan juga berpotensi mendorong terjadinya crowding out –perununan investasi swasta akibat kebijakan pemerintah meningkatkan pinjaman untuk membiayai pengeluaran. Singkatnya, adanya lonjakan utang akan berpotensi membuat investasi swasta kabur dari Indonesia.

“Di sisi lain, pembelian SBN ini juga berisiko mendorong crowding out para investor bila tidak dilaksanakan secara hati-hati,” kata Josua kepada Tirto, Senin (24/2/2025).

Sebagai informasi, dari data transaksi yang dicatat BI, pada 17-20 Februari 2025, investor asing (nonresiden) tercatat membeli neto sebesar Rp7,58 triliun. Itu terdiri dari jual neto senilai Rp0,46 triliun di pasar saham dan beli neto sebesar Rp6,96 triliun di pasar SBN dan Rp1,08 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI).

Sementara pada periode 1 Januari-20 Februari 2025, terjadi pula aliran modal masuk dari investor asing sebesar Rp14,48 triliun. Rinciannya, jual neto sebesar Rp7,74 triliun di pasar saham, beli neto Rp18,99 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp3,23 triliun di SRBI.

Saat ini, memang masih terlalu dini untuk menghitung berapa banyak BI akan membeli SBN Perumahan. Namun, seiring dengan semakin besarnya kepemilikan di surat utang pemerintah, independensi BI pun menjadi dipertanyakan.

Sebab, kepemilikan SBN yang terlalu besar pada akhirnya akan membebani neraca pembayaran BI. Hal itu sekaligus menjadikan kebijakan moneter ke depan menjadi kurang efektif sehingga nilai tukar rupiah dan tingkat inflasilah yang pada akhirnya akan menjadi korban.

Perlu diketahui, berdasar data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, outstanding SBN yang dapat diperdagangkan per 20 Februari 2025 telah mencapai Rp6.140,98 triliun.

Lalu, pada hari ketika pemerintah dan BI bersepakat untuk menerbitkan SBN Perumahan, BI telah menempati posisi pertama dalam daftar kepemilikan SBN terbesar dengan nominal mencapai Rp1.535,08 triliun.

Disusul kemudian oleh kepemilikan perbankan dengan nilai Rp1.177,87 triliun, dana asuransi serta dana pensiun sebesar Rp1.170,18 triliun, dan oleh asing mencapai Rp895,63 triliun. Dus, kepemilikan BI pada instrumen surat utang pemerintah telah mencapai 25 persen dari total outstanding.

“Kita harus jaga juga independensi dari bank sentral, ya. Dampaknya jangka menengah-panjangnya kan kalau terlampau relaks, terlampau longgar [likuiditas], juga akan berdampak pada fundamental ekonomi yang lain, inflasi. Meskipun, sejauh ini inflasi masih terkendali, masih rendah,” ujar Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, saat dihubungi Tirto, Senin (24/2/2025).

Baca Juga :  Indeks Bisnis-27 Dibuka Melemah, Saham KLBF dan MAPI Masih Cuan

Kendati begitu, David mengaku belum dapat menghitung seberapa besar dampak penerbitan surat utang oleh pemerintah ini terhadap perekonomian nasional. Pasalnya, sampai saat ini belum ada detil yang jelas terkait SBN Perumahan.

Menurut David, alih-alih merilis SBN Perumahan, akan lebih bijak bila pemerintah mngucurkan insentif pada sektor-sektor atau industri yang berkaitan dengan program 3 juta rumah. Pasalnya, dukungan fiskal maupun nonfiskal terhadap sektor-sektor ini praktis akan memperlebar kesempatan kerja bagi masyarakat.

Seiring dengan terbukanya lapangan pekerjaan tersebut, konsumsi orang-orang yang bekerja di sektor konstruksi juga bakal ikut terkerek.

“Kalau kita dorong program 3 juta rumah, yang terjadi nanti impor kita [bahan-bahan material] akan melonjak cukup besar. Ini akan memberatkan transaksi neraca berjalan dan ujung-ujungnya kena lagi ke rupiah. Jadi, perlu insentif atau dorongan atau stimulus yang sifatnya komprehensif untuk semua sektor yang terlibat sehingga industrinya juga bergerak,” tegas David.

Baca juga: BI Tambah Insentif Likuiditas Makroprudensial untuk Perumahan

Independensi BI Bisa Terkikis Sementara itu, menurut Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, tak masalah jika BI membeli SBN Perumahan di pasar sekunder. Namun, yang terpenting BI tak perlu berkomitmen untuk membelinya di awal. Pasalnya, bila BI berkomitmen di awal, independensinya dikhawatirkan bakal terkikis.

Bagaimana tidak, posisi BI dalam pembelian SBN Perumahan ini seakan mencerminkan kalau bank sentral mencetak uang demi membiayai kebutuhan fiskal pemerintah. Tidak hanya itu, independensi BI juga semakin tergerus seiring dengan penerbitan SRBI yang dilakukan secara jor-joran.

Berdasar data BI, posisi SRBI hingga 17 Februari 2025 telah mencapai Rp892,90 triliun, dengan kepemilikan nonresiden mencapai Rp255,35 triliun atau sekitar 25,24 persen dari total outstanding.

“Keputusan BI membeli SBN di secondary market tidak melanggar independensi BI. Tetapi, jika komitmen tersebut disampaikan sebelum pasar primer dibuka, ini tentunya melanggar. Bukan secara hukum tetapi secara substansi,” jelas Wijayanto dalam pesan singkatnya kepada Tirto, Senin (24/2/2025).

Dari sisi pemerintah, rencana penerbitan SBN Perumahan tampaknya tak tepat untuk dilakukan saat ruang pemerintah untuk berutang sudah cukup sempit. Bagaimana tidak, untuk 2025 dan 2026 saja, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang pemerintah pusat (debt service ratio/DSR) dinilai Wijayanto akan berada pada kisaran 50 persen.

Jika benar demikian, kemampuan pemerintah untuk membayar utang ke depan akan semakin diragukan. Sebab, angka DSR tersebut diperkirakan akan mengalami lonjakan cukup signifikan ketimbang 2024 lalu yang masih sebesar 32,8 persen, lebih tinggi dari ambang batas aman yang direkomendasikan, yakni di kisaran 25-30 persen.

“Ini sudah lampu oranye. Kuning mendekati merah,” tambahnya.

Dalam kondisi ini, pemerintah seharusnya dapat lebih berhati-hati dalam menerbitkan utang baru. Karena, utang hanya bisa dilakukan dalam kondisi yang sangat penting.

“Program 3 Juta rumah penting, tetapi tidak urgen, bisa ditunda. Kalau pun dijalankan, idealnya [pembiayaan] kecil dulu, baru gradual membesar menyesuaikan kondisi fiskal,” tegas Wijayanto.

Kendati begitu, dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebelumnya, Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa alasan merilis SRBI adalah untuk memperkuat operasi moneter. Sedangkan, pembelian SBN di pasar sekunder tak lain merupakan bentuk sinergi erat antara otoritas moneter dan pemerintah sebagai otoritas fiskal.

“Penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder,” paparnya, di Kantor BI, Rabu (19/2/2025).

Baca juga: Maruarar Jamin Program 3 Juta Rumah Berjalan meski Ada Efisiensi

Berita Terkait

Rupiah Melemah, Dipicu Kekhawatiran Perang Dagang
Indeks Bisnis-27 Dibuka Melemah, Saham ANTM dan BBNI Masih Cuan
IHSG Lanjut Melemah, 7 Saham Ini Potensial Cuan
IHSG Menghijau, Rupiah Lesu di Awal Sesi
Harga Harga Emas Antam 25 Februari 2025 Naik Rp 2.000 Per Gram, Cek Rinciannya
Jasa Marga (JSMR) Tutup Anak Usaha, Begini Rinciannya
Tukar Uang Baru BI 2025 Wajib Daftar Online, Ini Link dan Caranya
Gabung ke Danantara, PT PP (PTPP) Siap Turut Bersinergi

Berita Terkait

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:27 WIB

Rupiah Melemah, Dipicu Kekhawatiran Perang Dagang

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:27 WIB

Indeks Bisnis-27 Dibuka Melemah, Saham ANTM dan BBNI Masih Cuan

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:27 WIB

IHSG Lanjut Melemah, 7 Saham Ini Potensial Cuan

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:27 WIB

IHSG Menghijau, Rupiah Lesu di Awal Sesi

Selasa, 25 Februari 2025 - 10:26 WIB

Harga Harga Emas Antam 25 Februari 2025 Naik Rp 2.000 Per Gram, Cek Rinciannya

Berita Terbaru

society-culture-and-history

Museum Ullen Sentalu, Menelusuri Sejarah dan Budaya Jawa di Yogyakarta

Selasa, 25 Feb 2025 - 10:57 WIB

health

Fakta-fakta Penyakit Tiroid yang Sering Disepelekan

Selasa, 25 Feb 2025 - 10:47 WIB

urban-infrastructure

Tiga Tower Wisma Atlet Beres Direvitalisasi, Sisanya Menyusul April

Selasa, 25 Feb 2025 - 10:47 WIB