Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa Bali merupakan destinasi pariwisata yang diminati wisatawan mancanegara, bahkan diketahui pariwisata Pulau Dewata menjadi salah satu penyumbang devisa terbanyak bagi Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali sepanjang 2024 mencapai 6.333.360 orang atau meningkat 20,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Dinas Pariwisata Provinsi Bali, terdapat tiga alasan utama yang menarik wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Dewata, yakni budaya yang unik, alam yang indah, dan masyarakat yang ramah. Pulau di Indonesia bagian tengah ini memang memiliki ritual keagamaan yang eksis semenjak zaman nenek moyang, serta memadukan aktivitas tradisional dengan panorama alaminya.
Untuk melindungi tiga hal tersebut, Bali menegakkan pungutan wisatawan asing mulai tanggal 14 Februari 2024. Hal tersebut berarti setiap turis asing yang berkunjung ke Bali wajib membayar pungutan wisatawan asing sebesar Rp150 ribu per orang. Pungutan tersebut dibayarkan satu kali selama berwisata di Bali, sebelum yang bersangkutan meninggalkan wilayah Indonesia.
Landasannya berasal dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali, serta Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pembayaran Pungutan Bagi Warga Negara Asing.
Melihat satu tahun pelaksanaannya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memperoleh Rp318 miliar dari pungutan wisatawan asing sepanjang 2024. Dana tersebut memang melampaui target senilai Rp250 miliar untuk tahun pertama pemberlakuan pungutan wisatawan asing. Namun, apabila melihat jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali di 2024, tercatat baru 30 hingga 40 persen dari wisatawan tersebut yang membayar pungutan.
“Dari sisi penerimaan perlu penyesuaian-penyesuaian di lapangan, ada penyempurnaan-penyempurnaan, sehingga baru dapat nilai sekian (Rp318 miliar),” kata Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, ketika dihubungi Tirto, Selasa (18/02/2025).
Pemayun mengakui, jumlah pungutan yang diterima Pemprov Bali memang kurang apabila dibandingkan dengan jumlah wisatawan yang datang. Menurutnya, ada beberapa alasan di balik timpangnya jumlah pungutan dan jumlah wisatawan. Pertama, terdapat pengecualian pungutan terhadap sejumlah wisatawan yang tertuang dalam regulasi.
“Ada pengecualian wisatawan yang tidak dikenakan biaya, yaitu orang asing yang pegang paspor diplomatik. Yang punya kartu KITAS/KITAP, tidak perlu bayar juga. Kru pesawat, kru kapal pesiar, atau visa pelajar, tidak membayar. Kami hanya kenakan pada visa leisure, yang liburan,” terangnya.
Regulasi juga memperbolehkan pengajuan pengecualian pungutan wisatawan asing apabila terdapat acara berskala internasional atau helat yang diselenggarakan oleh kementerian atau lembaga nasional. Dalam hal ini, Dispar akan menindaklanjuti pengajuan tersebut lebih lanjut sebelum memberikan pengecualian pungutan.
Mengenai pungutan untuk wisatawan asing dengan tujuan berwisata, Pemayun mengatakan, Dispar sudah gencar melakukan sosialisasi kepada seluruh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di dunia, Kedutaan Besar atau Kantor Perwakilan Asing yang tersebar di Indonesia, dan stakeholder pariwisata Bali yang memiliki hubungan kerja sama dengan pihak asing.
“Dari penerimaan pungutan wisatawan asing Rp318 miliar itu, hampir 95 persennya adalah pembayaran sebelum tiba di Bali. Artinya apa? Sosialisasi kami anggap sudah tercapai dengan yang kami lakukan,” ucap Pemayun.
Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Pembangunan, Jro Gde Sudibya, menyayangkan rendahnya jumlah pungutan wisatawan asing yang berada di Bali. Dari proyeksi berdasarkan data BPS, Bali ditaksir menerima Rp945 miliar dari sumber pungutan wisatawan asing. Berkaca dari jumlah yang didapatkan Bali selama tahun 2024, terdapat Rp645 miliar yang belum terpungut.
“Pemerintah Bali sedang memerlukan dana untuk pengembangan budaya Bali, penyelamatan lingkungan, perbaikan kualitas manusia, ternyata berdasarkan dana yang masuk terdapat Rp645 miliar yang belum terpungut. Ini yang jadi pertanyaan karena sudah tentu efektivitas Perda ini menjadi tidak maksimal,” beber Sudibya ketika dihubungi Tirto, Kamis (20/02/2025).
Kebocoran tersebut, Sudibya menilai, berasal dari lemahnya koordinasi antara Pemprov Bali dan imigrasi. Prinsip pungutan wisatawan asing sendiri adalah levy on arrival (retribusi yang dibayarkan saat tiba di suatu negara atau wilayah), sehingga wisatawan yang tidak membayar seharusnya dilarang masuk ke Bali.
“Ternyata lolos. Kelemahannya berarti ada di tingkat implementasi di lapangan, koordinasi antara Pemprov Bali dan imigrasi. Semestinya ada penagihan kembali, entah dengan hotel, dengan agensi perjalanan, atau ke yang bersangkutan,” ucapnya.
Baca juga:
- Aksi Indonesia Gelap di Bali Tolak Pemangkasan Dana Pendidikan
- Pariwisata Bali Disebut Aman Meski Terdampak Erupsi Lewotobi
Lolosnya Wisatawan Asing dari Pungutan
Kendala terbesar yang menjadi sorotan Dispar adalah pengawasan (monitoring) terhadap wisatawan asing yang masuk ke Pulau Dewata. Belum memungkinkannya pemasangan alat pindai otomatis (auto scanner) di Bandara I Gusti Ngurah Rai menjadi faktor penghambat terbesar untuk memantau wisatawan asing.
“Kalau kita pasang auto scanner gate, lebih aman. Jika (wisatawan asing) enggak bayar, mereka enggak bisa keluar dari bandara. Itu yang belum bisa dilaksanakan dan menjadi kendala kita, sehingga untuk pengecekan itu, kami ngacak,” bebernya.
Pengecekan tersebut dilaksanakan di sejumlah Daya Tarik Wisata (DTW) yang ada di Bali, seperti Ulun Danu Beratan, Tirta Empul, Penglipuran, dan Pura Uluwatu, dengan melibatkan Satpol PP Pariwisata, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, dan organisasi kepariwisataan. Sejumlah checker ditugaskan untuk memeriksa wisatawan secara acak (random checking) dan melihat kepatuhan pembayaran pungutan.
“Mereka (checker) mengingatkan kembali ketika bertemu wisatawan, tanya sudah bayar atau belum. Kalau belum, kita dorong dia (wisatawan) untuk membayar melalui aplikasi Love Bali. Aplikasi Love Bali ini berbasis website, kapan pun dan di mana pun bisa bayar asalkan ada jaringan untuk mengakses,” jelas Pemayun.
Namun, di sisi lain, sistem random checking rupanya menjadi halangan bagi para checker untuk memastikan efektivitas pungutan wisatawan asing. Hal ini disebabkan karena petugas tidak boleh mencegat semua tamu yang lewat karena dapat mengganggu kenyamanan, sehingga terdapat kemungkinan adanya wisatawan yang melenggang tanpa membayar pungutan.
Banyaknya wisatawan asing yang belum membayar pungutan saat masuk ke Bali membuat Dispar harus memutar otak. Rencananya, Dispar akan memperluas kerja sama dengan sejumlah bank untuk membuka lebih banyak pintu akses pembayaran. Diketahui, selama ini BPD Bali hanya bekerja sama dengan bank BCA yang memiliki payment gateway (sistem pembayaran non-tunai).
Beberapa negara juga diketahui memiliki sistem pembayaran non-tunai yang eksklusif, misalnya Cina yang memiliki kanal pembayaran WeChat Pay dan Alipay. Sayangnya, kanal pembayaran tersebut belum terbuka.
“Tahun ini kami ingin memperluas channel pembayaran karena tahun sebelumnya channel pembayaran itu baru satu bank yang mempunyai payment gateway. Tidak semua bank mempunyai payment gateway, kita buka seluas-luasnya sebagai channel pembayaran. Kita luaskan juga bagi mitra manfaat,” kata Pemayun.
Perda Nomor 6 Tahun 2023 yang mengatur mengenai Pungutan bagi Wisatawan Asing juga akan direvisi seusai Wayan Koster memulai tanggung jawabnya sebagai Gubernur Bali. Salah satu poin yang akan menjadi bahasan adalah sanksi mengenai turis asing yang tidak membayar pungutan dan insentif bagi petugas yang memungut.
“Pemberian semacam insentif dan semacamnya belum diatur, sehingga atas inisiatif dewan, sedang dilakukan revisi-revisi terkait dengan Perda Pungutan,” imbuh Pemayun.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali, Ida Bagus Raka Suardana, turut sepakat dengan belum efektifnya pungutan wisatawan asing di Bali, terutama dari segi aturan dan implementasi di lapangan. Lolosnya wisatawan dari kewajiban membayar pungutan menjadi salah satu indikator belum optimalnya kebijakan tersebut.
“Penyebabnya adalah kurangnya sistem pengawasan yang ketat di titik-titik masuk wisatawan, seperti bandara dan pelabuhan. Selain itu, koordinasi antarinstansi yang menangani pemungutan belum berjalan maksimal, sehingga masih ada celah yang memungkinkan wisatawan menghindari pungutan ini,” kata Raka kepada kontributor Tirto, Kamis (20/02/2025).
Raka menilai, perlu ada mekanisme koordinasi yang lebih ketat antara instansi dalam meningkatkan efektivitas pungutan wisatawan asing. Dispar menjadi tokoh sentral dalam orkestrasi pungutan wisatawan asing karena kewenangan mengelola dan sosialisasi ada pada mereka, sementara imigrasi perlu lebih tegas dalam memastikan setiap wisatawan telah membayar pungutan.
“Dinas Perhubungan bertugas memastikan pengawasan di titik-titik kedatangan, seperti bandara dan pelabuhan. Peran asosiasi industri pariwisata seperti PHRI dan ASITA juga harus diperkuat agar hotel, agen perjalanan, serta penyedia jasa wisata turut serta dalam memastikan kepatuhan wisatawan terhadap kebijakan ini,” terangnya.
Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA), salah satu asosiasi wisata yang ada di Bali, juga buka suara mengenai pungutan wisatawan asing. Sebagai pihak yang secara langsung berhubungan dengan tamu-tamu asing, ASITA memiliki beberapa catatan terhadap kebijakan tersebut.
“Secara fakta di lapangan, memang belum maksimal. Dari sisi SDM-nya belum optimal, belum maksimal kinerjanya. Jadi, perlu adanya revisi dari Perda. Ketika nanti itu (Perda) diubah dan ada solusi, pungutan ini bisa jadi jauh lebih baik daripada tahun 2024,” ucap Ketua ASITA Bali, I Putu Winastra, saat dihubungi Tirto, Kamis (20/02/2025).
Winastra mengatakan, anggota yang tergabung dalam ASITA memang diminta untuk menjadi end point dari pungutan wisatawan asing. Hal tersebut berarti, ASITA harus memastikan wisatawan asing yang menggunakan jasa mereka telah membayar pungutan. Jika ada wisatawan yang belum membayar, maka anggota ASITA yang harus memungut dan membayarkan.
“Sebagai end point ini penuh dengan risiko. Kalau kami menerima uang dari wisatawan, itu dipandang sebagai sebuah pendapatan. Ketika ada pendapatan, itu bisa berpengaruh terhadap kewajiban pajak para anggota ASITA. Padahal, itu hanya dititip saja di akun kami,” keluhnya.
Melihat risiko tersebut, Winastra menilai diperlukan pihak ketiga (aggregator atau perantara) yang dapat membantu para travel agent dan jasa akomodasi untuk memungut pungutan wisatawan asing yang belum dibayarkan dari tamu-tamu mereka.
“Selama ini belum ada kerja sama dengan pihak lain, jadi harus dilakukan oleh pemerintah sendiri, melalui Dispar dan dinas terkait. Kalau ke depannya bisa bekerja sama dengan aggregator yang lain, bisa lebih kencang implementasinya,” tukasnya.
Meskipun dinilai masih banyak kekurangan, jumlah dana dari pungutan wisatawan asing di Bali bisa dikatakan fantastis. Menurut Pemayun, dana 318 miliar tersebut masuk dalam Anggaran Pendapaatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Bali dan digunakan untuk kelestarian lingkungan, kebudayaan, dan pengolahan sampah di Bali.
“Dana ini tidak masuk ke Dinas Pariwisata karena semuanya masuk ke kas daerah langsung, by system. Begitu bule masuk, membayar, dana masuk ke kas daerah besoknya,” kata Pemayun.
Dalam hal perlindungan kebudayaan, Dispar mengalirkan dana tersebut kepada desa adat, subak, tempat ibadah, dan sebagai bantuan keuangan bagi seniman. Sementara itu, untuk perlindungan lingkungan, dana disalurkan kepada Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, dan Recycle (TPS3R) di masing-masing wilayah, serta sebagai bantuan keuangan khusus (BKK) untuk pengelolaan sampah.
Dari kacamata pengamat, Raka menilai pungutan wisatawan asing telah memberikan tambahan pendapatan bagi Bali untuk mengelola pariwisata berkelanjutan. Pada masa kepemimpinan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno di tahun sebelumnya, Bali telah ditetapkan sebagai proyek percontohan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.
“Namun, dampaknya terhadap wisatawan tentu perlu dikaji lebih lanjut,” ungkapnya.
Menurutnya, sebagian wisatawan telah menerima kebijakan pungutan wisatawan asing sebagai bentuk kontribusi mereka terhadap pelestarian budaya dan alam Bali. Kebijakan ini pun juga punya andil dalam meningkatkan kesadaran wisatawan tentang pentingnya keberlanjutan pariwisata. Namun, muncul kekhawatiran kebijakan tersebut bisa menjadi penghambat bagi wisatawan yang berlibur dengan anggaran terbatas.
“Untuk menjaga daya saing Bali sebagai destinasi wisata utama, perlu dilakukan evaluasi berkala terkait besaran pungutan dan efektivitas pengelolaannya. Dengan demikian, kebijakan pungutan wisatawan asing dapat terus memberikan manfaat ekonomi, tanpa menghambat pertumbuhan sektor pariwisata itu sendiri,” jelas Raka.
Baca juga:
- Duduk Perkara Perkelahian Sekuriti vs WNA di Finns Beach Bali
- Menghempas Sampah demi Menjaga Keindahan Wisata Pulau Dewata