Ungkapan terkenal dari Nelson Mandela, “The youth of today are the leaders of tomorrow,” mengingatkan kita bahwa pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.
Sejarah Indonesia telah mencatat peran aktif pemuda dalam berbagai perubahan sosial dan politik, mulai dari perjuangan kemerdekaan, pergerakan reformasi, hingga masa kini.
Pemuda tidak hanya menjadi motor penggerak dalam menghadapi tantangan nasional, tetapi juga memiliki potensi besar dalam menciptakan inovasi dan kemajuan.
Kini, di tengah berbagai tantangan global, termasuk dampak pandemi Covid-19, perubahan iklim, dan revolusi industri 4.0, pemuda diharapkan mampu terus beradaptasi dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa, baik melalui pendidikan, kewirausahaan, maupun keterlibatan dalam pembangunan sosial.
Bonus Demografi: Peluang dan Tantangan
Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030.
Bonus demografi terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibandingkan dengan usia non-produktif (anak-anak dan lansia).
Menurut data Bappenas (2017), diprediksi bahwa 64% populasi Indonesia pada tahun tersebut akan terdiri dari penduduk usia produktif. Jika dikelola dengan baik, fenomena ini dapat menjadi keuntungan ekonomi bagi negara.
Namun, bonus demografi juga membawa tantangan besar. Jika tidak dimanfaatkan secara optimal, maka jumlah penduduk usia produktif yang besar justru dapat menjadi beban ekonomi.
Salah satu ancaman utama adalah meningkatnya angka pengangguran jika lapangan kerja yang tersedia tidak cukup untuk menampung angkatan kerja baru.
Tanpa intervensi yang tepat, bonus demografi dapat berubah menjadi malapetaka sosial dan ekonomi.
Selain itu, fenomena urbanisasi yang cepat juga menjadi tantangan tersendiri.
Banyak pemuda yang berpindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan, namun tidak semua dari mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.
Akibatnya, banyak yang terjebak dalam pekerjaan informal dengan upah rendah atau bahkan menganggur.
Ketimpangan ekonomi antara daerah perkotaan dan pedesaan semakin melebar, sehingga menghambat pemerataan pembangunan.
Fenomena NEET: Ancaman bagi Masa Depan Bangsa
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 20,31 persen Gen Z atau penduduk berusia 15 hingga 24 tahun di Indonesia tergolong dalam kategori Youth Not in Education, Employment, and Training (NEET).
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan NEET sebagai kelompok pemuda yang tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan.
Indikator NEET lebih spesifik dalam menggambarkan tingkat pengangguran muda dibandingkan dengan indikator pengangguran konvensional.
Konsep NEET pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1990. Awalnya, fenomena ini dianggap bukan sebagai masalah serius.
Namun, seiring waktu, jumlah pemuda yang termasuk dalam kategori NEET semakin meningkat di berbagai negara, terutama di negara berkembang.
Fenomena ini akhirnya menjadi perhatian global karena berdampak pada perekonomian dan keberlanjutan suatu negara.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) kini secara rutin melaporkan data NEET sebagai indikator penting dalam kebijakan tenaga kerja global.
Di Indonesia, banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya angka NEET, seperti kurangnya akses terhadap pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, serta ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan dengan kebutuhan industri.
Selain itu, rendahnya literasi digital di beberapa daerah juga menjadi kendala bagi pemuda dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dampak NEET terhadap Indonesia
Dalam konteks Indonesia, meningkatnya jumlah pemuda yang tergolong dalam NEET dapat membawa berbagai konsekuensi negatif, seperti:
1. Meningkatnya Angka Pengangguran
Jika banyak pemuda tidak bekerja atau mengenyam pendidikan, tingkat pengangguran akan meningkat drastis, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya saing bangsa.
2. Terhambatnya Pertumbuhan Ekonomi
Kurangnya tenaga kerja terampil yang siap memasuki pasar kerja akan menghambat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
3. Dampak Sosial dan Keamanan
Tingginya angka NEET dapat memicu berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, meningkatnya angka kriminalitas, serta ketidakstabilan sosial dan politik.
4. Ancaman terhadap Keberlanjutan Pembangunan
Indonesia sedang berupaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), termasuk pengurangan angka NEET.
Jika tidak segera diatasi, masalah ini dapat menghambat pencapaian target SDGs, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.
Selain dampak di atas, fenomena NEET juga dapat menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan diri di kalangan pemuda.
Ketika seseorang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau pendidikan, mereka cenderung mengalami stres dan kehilangan motivasi untuk berkembang.
Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya angka gangguan kesehatan mental di kalangan pemuda.
Strategi Mengatasi NEET dan Memanfaatkan Bonus Demografi
Untuk mencegah meningkatnya angka NEET dan memastikan bonus demografi memberikan manfaat bagi Indonesia, diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat, di antaranya:
1. Meningkatkan Akses Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama dalam menyediakan akses pendidikan yang lebih baik, terutama pendidikan vokasi dan pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Kurikulum pendidikan harus lebih adaptif terhadap perkembangan zaman agar lulusan lebih siap memasuki dunia kerja.
2. Penciptaan Lapangan Kerja
Perlu ada kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan kerja, baik melalui investasi asing, pengembangan UMKM, maupun industri kreatif.
Pemerintah juga dapat memberikan insentif kepada perusahaan yang mempekerjakan pemuda dan lulusan baru.
3. Meningkatkan Kesadaran akan Pentingnya Keterampilan
Banyak pemuda yang belum menyadari pentingnya keterampilan tambahan di luar pendidikan formal.
Oleh karena itu, perlu ada kampanye edukasi yang mendorong pemuda untuk terus mengembangkan keterampilan melalui kursus, sertifikasi, atau program magang.
4. Program Inkubasi dan Wirausaha
Menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan pemuda adalah solusi jangka panjang yang dapat mengurangi angka pengangguran.
Pemerintah dan institusi terkait dapat mendukung program inkubasi bisnis, pemberian modal usaha, serta pendampingan bagi wirausahawan muda.
5. Kebijakan Sosial yang Inklusif
Pemerintah perlu merancang kebijakan sosial yang mendukung kelompok rentan agar mereka tidak terjebak dalam kategori NEET.
Hal ini termasuk pemberian beasiswa bagi keluarga kurang mampu, subsidi pelatihan kerja, serta program rehabilitasi bagi pemuda yang mengalami kesulitan ekonomi.
Penutup
Bonus demografi dan fenomena NEET adalah dua isu yang saling berkaitan dan perlu mendapat perhatian serius.
Jika dikelola dengan baik, bonus demografi dapat menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing global.
Namun, jika tidak diantisipasi dengan baik, meningkatnya angka NEET dapat menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan pemuda.
Dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan, pelatihan, dan peluang kerja, kita dapat memastikan bahwa generasi muda Indonesia siap menghadapi tantangan masa depan dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.